Hubertus Johannes van Mook lahir di Semarang pada tanggal 30 Mei 1894 pada masa kuliah pemikiran Van Mook banyak dipengaruhi oleh orientalis pada masa Hindia Belanda yaitu Snouck Hurgronje pengaruh ini membuat Van Mook memimpikan negara federal yang ingin ia wujudkan ditempat kelahirannya. Sebelum menduduki jabatan Letnan Gubernur Jenderal, Van Mook telah memegang berbagai posisi penting, termasuk Direktur Departemen Urusan Ekonomi. Ia dikenal sebagai seorang yang memiliki pandangan pragmatis dan berusaha mencari solusi realistis dalam menghadapi gejolak politik di Hindia Belanda.
Menjelang dan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Van Mook menjadi figur sentral dalam upaya Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya. Ia berpandangan bahwa kemerdekaan penuh bagi Indonesia belum saatnya, dan lebih memilih model federasi di bawah naungan Kerajaan Belanda. Pemikiran inilah yang kemudian mewarnai kebijakan-kebijakannya, termasuk pembentukan Garis Van Mook.
Setelah Jepang menyerah pada Sekutu dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, terjadi kekosongan kekuasaan (vacuum of power). Belanda, yang didukung oleh Sekutu, berusaha untuk kembali menginjakkan kaki di Indonesia. Namun, mereka menghadapi perlawanan sengit dari bangsa Indonesia yang telah bertekad untuk merdeka, tekad bulat ini menguat setelah proklamasi 17 Agustus 1945.
Dalam situasi konflik yang memanas, Belanda menyadari kesulitan untuk menguasai seluruh wilayah Indonesia secara cepat. Strategi yang kemudian dipilih adalah mengamankan wilayah-wilayah strategis dan penting secara ekonomi, terutama di Jawa dan Sumatera. Di bawah kepemimpinan Van Mook, pemerintah kolonial mulai melakukan aksi-aksi militer untuk menduduki kembali wilayah-wilayah tersebut.
Pembentukan Garis Demarkasi: Strategi Kontrol Teritorial
Sebagai bagian dari strategi penguasaan wilayah yang bertahap, Van Mook dan para petinggi militer Belanda mencetuskan ide untuk menarik garis demarkasi. Tujuan utama dari garis ini adalah:
- Memisahkan Pasukan, Mencegah kontak langsung dan bentrokan yang lebih besar antara pasukan Belanda (KNIL) dan pasukan Republik Indonesia (TNI) di wilayah-wilayah yang diperebutkan.
- Mengamankan Wilayah yang Dikuasai Belanda, Memperkuat kontrol Belanda atas wilayah-wilayah yang telah berhasil diduduki, termasuk kota-kota besar dan area dengan sumber daya ekonomi penting.
- Membatasi Gerak Republik, Secara efektif membatasi wilayah de facto Republik Indonesia, menyulitkan mobilisasi kekuatan dan sumber daya.
- Sebagai Garis Negosiasi, Belanda mungkin juga melihat garis ini sebagai pijakan untuk negosiasi di masa depan, di mana wilayah di luar garis akan diakui sebagai bagian dari Republik dengan syarat-syarat tertentu.
Garis Van Mook pertama kali muncul dalam bentuk yang tidak formal, mengikuti garis terdepan pasukan Belanda setelah aksi-aksi militer mereka. Seiring waktu, garis ini menjadi lebih jelas dan bahkan digambarkan dalam peta-peta militer Belanda. Namun, penting untuk ditekankan bahwa Republik Indonesia tidak pernah mengakui legitimasi garis ini.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Garis Van Mook bukanlah entitas yang statis. Posisinya terus berubah seiring dengan dinamika pertempuran dan hasil perundingan. Misalnya, setelah Agresi Militer Belanda I, garis ini mengalami perubahan signifikan sesuai dengan wilayah-wilayah yang berhasil diduduki Belanda. Demikian pula, Perjanjian Linggarjati dan Renville turut mempengaruhi konfigurasi garis ini, meskipun tidak menghapusnya secara total.
Keberadaan Garis Van Mook membawa dampak yang luas: memecah belah wilayah dan masyarakat, memicu konflik bersenjata di sepanjang garis, menghambat aktivitas ekonomi, dan menjadi simbol perlawanan bagi bangsa Indonesia. Garis ini menjadi pengingat akan upaya Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya dan kegigihan Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Akhir dari Garis Van Mook
Garis Van Mook akhirnya kehilangan relevansinya setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada tahun 1949. Pengakuan ini secara otomatis menghapus garis-garis demarkasi yang memisahkan wilayah yang dikuasai Belanda dan Indonesia. Namun, jejak sejarah Garis Van Mook tetap terukir dalam memori kolektif bangsa Indonesia sebagai simbol perjuangan dan pembatasan wilayah di masa revolusi.
Dengan memahami peran Hubertus Johannes van Mook sebagai arsitek kebijakan kolonial pada masa itu, kita dapat lebih mengerti mengapa dan bagaimana Garis Van Mook terbentuk. Garis ini adalah manifestasi dari strategi Belanda untuk mengendalikan situasi di tengah gelombang revolusi, sebuah garis yang pada akhirnya runtuh seiring dengan kemenangan perjuangan kemerdekaan Indonesia.