sejarah31.com - Sosok Ki Hadjar Dewantara (KHD) bukan sekadar nama dalam sejarah Indonesia, melainkan fondasi kokoh bagi sistem pendidikan nasional yang kita kenal hingga kini. Pemikirannya yang revolusioner dan perjuangannya yang gigih telah mengubah lanskap pendidikan dari warisan kolonial yang diskriminatif menuju sistem yang lebih inklusif dan berorientasi pada kemerdekaan belajar. Memahami gagasan KHD berarti menelusuri akar filosofis pendidikan Indonesia yang menekankan pada humanisme, nasionalisme, dan kemandirian. Dasar inilah yang perlu kita pahami dan sepakati untuk menjawab banyak tantangan perubahan zaman sehingga bangunan pendidikan kita tidak asal cantik tapi kuat dan kokoh.
Sebelum kemerdekaan, sistem pendidikan di Hindia Belanda sangatlah elitis dan diskriminatif. Akses pendidikan berkualitas terbatas pada kalangan bangsawan dan anak-anak Eropa, sementara mayoritas pribumi hanya mendapatkan pendidikan seadanya yang lebih bertujuan untuk menghasilkan tenaga kerja murah bagi kepentingan kolonial. Kondisi inilah yang mendorong Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (nama asli Ki Hadjar Dewantara) untuk lantang menyuarakan kritik.
Salah satu kritik pedasnya tertuang dalam tulisan monumentalnya, "Als Ik Een Nederlander Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda) pada tahun 1913. Dalam tulisan tersebut, KHD menggunakan ironi untuk menggambarkan betapa tidak adilnya perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda di tengah penindasan dan ketidakadilan yang dialami rakyat Indonesia. Tulisan ini membawanya pada pengasingan, namun justru di sanalah pemikirannya tentang pendidikan semakin matang.
Trilogi Pendidikan: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani
Sekembalinya dari pengasingan, KHD mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922, sebuah gerakan pendidikan yang meletakkan dasar bagi pendidikan nasional. Filosofi pendidikannya terangkum dalam tiga semboyan yang sangat terkenal:
Ing Ngarso Sung Tulodo: Di depan, seorang pendidik harus mampu memberikan teladan yang baik. Guru bukan hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga menjadi contoh perilaku dan karakter yang patut ditiru oleh siswa.
Ing Madyo Mangun Karso: Di tengah, seorang pendidik harus mampu membangkitkan semangat dan prakarsa siswa. Guru berperan sebagai fasilitator yang mendorong siswa untuk aktif belajar dan mengembangkan potensi diri.
Tut Wuri Handayani: Di belakang, seorang pendidik harus mampu memberikan dorongan dan arahan. Guru memberikan kebebasan kepada siswa untuk berkembang sesuai minat dan bakatnya, sambil tetap memberikan bimbingan yang diperlukan.
Trilogi ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan representasi dari pendekatan pendidikan yang holistik dan humanis. KHD menekankan bahwa pendidikan harus berpusat pada siswa (among), menghargai kodrat alam dan kemerdekaan setiap individu.
Setelah kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pendidikan pertama Republik Indonesia. Pemikiran-pemikirannya menjadi landasan utama dalam penyusunan sistem pendidikan nasional. Prinsip-prinsip seperti pendidikan yang inklusif, berpusat pada siswa, dan menghargai keberagaman terus diupayakan implementasinya hingga saat ini.
Meskipun zaman telah berubah, relevansi pemikiran KHD tetap terasa kuat. Tantangan pendidikan modern seperti globalisasi, perkembangan teknologi, dan kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas semakin mengukuhkan pentingnya pendidikan yang memerdekakan, kreatif, dan berkarakter.
Ki Hadjar Dewantara adalah Bapak Pendidikan Nasional yang telah meletakkan fondasi filosofis dan praktis bagi sistem pendidikan di Indonesia. Melalui kritik terhadap pendidikan kolonial, pendirian Taman Siswa, dan rumusan trilogi pendidikan, ia telah mewariskan gagasan tentang pendidikan yang memerdekakan, humanis, dan berakar pada kebudayaan bangsa. Memahami dan menginternalisasi pemikiran KHD adalah kunci untuk terus mengembangkan sistem pendidikan Indonesia yang berkualitas dan relevan dengan kebutuhan zaman, demi mewujudkan cita-cita bangsa yang cerdas dan berkarakter.
untuk lebih mendalami tentang sejarah Ki Hajar Dewantara penulis melampirkan buku digital.
0 comments: