Gagasan Dwi Fungsi ABRI tidak muncul tiba-tiba. TNI yang dahulu bernama TKR dan TRI lahir dari rakyat dan turut aktif dalam revolusi fisik. Pengalaman ini menumbuhkan pemahaman bahwa militer bukan sekadar alat negara, dari konsep ini kemudian Jenderal Abdul Haris Nasution meng arsiteki konseptual Dwi Fungsi. Beliau melihat militer memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya menjaga keamanan dari ancaman eksternal dan internal, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan nasional dan stabilitas politik. Gagasan ini tertuang dalam konsep "Jalan Tengah" yang berusaha menyeimbangkan antara model militer Barat yang fokus pada pertahanan dan model di negara-negara berkembang di mana militer seringkali mengambil alih kekuasaan secara langsung.
Dwi Fungsi ABRI mencapai puncaknya pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Militer tidak hanya menduduki posisi-posisi kunci dalam pemerintahan, parlemen, dan birokrasi, tetapi juga memiliki pengaruh yang signifikan dalam pengambilan kebijakan di berbagai sektor. bukan hanya sekedar kebijakan namun Dwi Fungsi ABRI Menjadi legitimasi kekusaan Suharto sehingga proses masa jabatannya sebagai presiden dapat Langgeng hingga puluhan tahun.
Selain dari pada itu pada masa Dwi Fungsi ABRI Perwira-perwira militer aktif menduduki jabatan gubernur, bupati, menteri, anggota parlemen, hingga pimpinan BUMN. Ini memberikan militer akses langsung ke sumber daya dan pengambilan keputusan.ABRI juga memainkan peran sentral dalam berbagai operasi keamanan dan penertiban, seringkali dengan pendekatan represif terhadap gerakan-gerakan politik yang dianggap mengancam stabilitas. Seiring berjalannya waktu, Dwi Fungsi ABRI menuai kritik tajam. Keterlibatan militer yang terlalu dalam dalam politik dan ekonomi dianggap menghambat perkembangan demokrasi, memicu praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta melahirkan pelanggaran hak asasi manusia.
Kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998 membuka ruang bagi reformasi yang signifikan terhadap peran ABRI yang kemudian berganti nama menjadi TNI. pada saat itu tuntutan demonstran salah satunya ialah penghormatan terhadap supremasi sipil. Salah satu tuntutan reformasi yang paling mendasar adalah penghapusan Dwi Fungsi ABRI. Proses ini berjalan bertahap dengan menarik militer dari jabatan-jabatan sipil dan membatasi peran mereka dalam politik. Fokus TNI dikembalikan pada fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara. Undang-undang tentang TNI dan Kepolisian direvisi untuk memperjelas batas-batas kewenangan dan tanggung jawab masing-masing.
Meskipun Dwi Fungsi secara formal telah dihapuskan, pemahaman tentang sejarahnya penting untuk tetap mengawal reformasi TNI dan memastikan bahwa militer tetap profesional dan tunduk pada supremasi sipil dalam negara demokrasi. Sejarah telah memberikan gambaran jelas tentang bagaimana proses Dwi Fungsi ABRI dalam Negara Demokrasi untuk memahami lebih jelas dan sejarah tidak terulang ada baiknya kita sama-sama berefleksi pada Waktu yang lampau.
Sumber bacaan lanjutan.
Nasution, A.H. (1966). The Dwifungsi of the Indonesian Armed Forces. Jakarta: S. Manurung. (Sumber primer tentang konsep Dwi Fungsi)
Crouch, Harold. (1978). The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press. (Analisis komprehensif tentang peran militer dalam politik Indonesia)
Schwarz, Adam. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability. Boulder: Westview Press. (Konteks politik dan sosial Orde Baru)
Herb Feith & Lance Castles (Eds.). (1970). Indonesian Political Thinking 1945-1965. Ithaca: Cornell University Press. (Pemikiran politik awal kemerdekaan)
McVey, Ruth T. (2000). Making Indonesia. Ithaca: Cornell Southeast Asia Program. (Sejarah pembentukan negara Indonesia)
Komnas HAM. (Berbagai laporan investigasi pelanggaran HAM masa lalu). (Sumber penting untuk memahami dampak negatif Dwi Fungsi)
0 comments: