sejarah31.com-Menjadi seorang guru merupakan salah satu cita-cita mulia dikalangan generasi penerus bangsa. Sosok guru selalu menjadi inspirasi bagi banyak orang bahkan ada pepatah yang popular di kalangan masyarakat Indonesia mengenai sosok guru, guru kencing berdiri murid kencing berlari. Hal tadi menandakan betapa pentingnya guru dalam tatanan kehidupan pepatah tadi berarti hal buruk yang dilakukan oleh seorang guru akan berimbas pada peserta didiknya lebih. Profesi ini juga tidak kalah penting dengan profesi lainnya, lahirnya orang-orang terpelajar pada semua lini sedikit banyaknya dibentuk oleh guru semasa mereka mengenyam pendidikan. Pada masa kolinialisme ada satu guru yang tegak konsisten dalam perjuanganya mengenai pendidikan kaum proletar ia adalah Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka atau kita kenal dengan nama Tan Malaka tidak hanya memiliki dasar pendidikan sebagai seorang guru Tan Malaka juga Seorang Aktivis Kemerdekaan Indonesia, dengan haluan kiri.
Kepandaian Tan Malaka telah terlihat oleh sang guru Horensma hingga ia menyarankan agar Tan Malaka menjadi guru bagi sekolah Belanda.Tidak hanya pintar dalam pelajaran ternyata Ia juga piawai dalam mengolah si kulit bundar.
Pada tahun 1913 Tan Malaka lulus di sekolah guru, bersamaan dengan itu sebagai pemuda minang dengan tradisi dan budaya yang kuat Tan Muda menerima gelar datuk, ia menerima gelar tersebut dalam upacara tradisional. Setelah Pristiwa tadi Tan harus memikirkan keberlanjutan hidupnya antara diam dan menjadi seorang bangsawan yang mengurusi desa atau melanjutkan studi untuk menuntaskan mencari jalan bebas dari Kolonialisme, akhirnya pilihan Tan jatuh kepada melanjutkan pendidikan. Berkat jasa guru yang menyayanginya Tan Malaka melanjutkan studinya ke Belanda negeri yang telah menjajah Negara berpuluh-puluh tahun.
Sang Guru Horensema menaruh harapan besar pada Tan Malaka untuk berhasil meraih Ijajah guru mengingat muridnya yang satu ini dikenal Cerdas. Sesampainya di Belanda banyak hal yang membuat Tan Malaka harus bekerja keras dalam belajar, bukan hanya menyesuaikan diri dengan pelajaran-pelajaran baru yang tidak di dapat ketika ia belajar di Indonesia, iklim dan makanan juga menjadi salah satu penghabat mengejar ketertinggalanya tersebut. Pengalaman pahit itu banyak ia ceritakan dalam tulisannya Dari Penjara Ke Penjara. Bahkan Tan Malaka harus mengalami sakit hingga mengakibatkan ia susah untuk berjalan karena sakitnya ini lah Tan Malaka harus bersusah payah meraih gelar gurunya.
Pengalaman belajar Tan Malaka Di Belanda telah sedikit banyak membentuk karakter hidupnya. Ketika Tan Malaka tinggal di Herleem ia banyak sekali melihat kaum proletar atau orang-orang kelas dua hidup dalam kesehariannya namun karena iklim yang tidak bersahabat di sana akhirnya Tan Malaka harus berpinda ke Bussum. Perbedaan situasi yang begitu mencolok dikedua tempat tersebut. Perbedaan antara kaum kapitalis dan juga proletar telah membagi dunia kedalam dua bagian tadi. Atas dasar ketimpangan ekonomi yang terjadi di negeri Belanda, dari ketimpangan yang terjadi di antara kedua golongan ini maka munculah gerakan revolusi sosialisme dalam membalikan sejarah. Saat Revolusi Bolsyewik di Uni Soviet meletus, Tan Malaka sedang berada di kota borjuis Bussum. Revolusi Bolsyewik memberikan keyakinan bahwa sejarah sedang bergerak menuju masyarakat sosialis.
Tidak hanya disibukan dengan urusan belajar, selama di Belanda ternyata Tan Malaka juga sibuk dengan organisasi-organisasi sosialisme. Dengan pengaruh ideology yang di serapnya, maka munculah gagasan dalam dirinya soal cita-cita kemerdekaan Indonesia bahwa hanya dengan jalan revolusi, bangsa Indonesia dapat lepas dari cengkeraman Koloniaisme Belanda. Menjadi sebuah pelajaran penting bagi siapa saja yang ingin tahu mengenai sepak terjang Tan Malaka, sebagai seorang pelajar ia tidak hanya memikirkan tentang kelulusan serta ijajahnya walaupun statusnya sebagai pelajar namun pemikirannya telah ia gembalakan begitu jauh untuk Negara Indonesia. Tidak hanya buah dari pikiranya Tan Malaka juga terus berkeliling untuk melihat proses bergeraknya Revolusi agar dapat di wujudkan kemudian di negaranya.
Sebagai calon guru Tan Malaka tentunya harus memiliki wawasan luas agar kelak ketika ia kembali semangat bebas dari Kolonialisme dapat ia tularkan pada anak didiknya. Setelah Lulus pada tahun 1919 akhirnya Tan Malaka kembali ke Indonesia tepatnya di Sumatera timur. Disinilah ia untuk pertama kalinya memberikan napas revolusi pada rakyat Indonesia.
Pendidikan ala Tan
Pada masa-masa kolonialisme Indonesia terbagi pada beberapa golongan dalam strata kapitalisme. Strata tertinggi di duduki oleh golongan pemilik modal perkebunan berdarah eropa, orang-orang pribumi kebanyakan hanya sebagai buruh perkebunan dengan gajih sangat memprihatinkan. Mereka golongan proletar hanya menjadi alat pengeruk kekayaan bagi para pemilik modal. Keadaan ini tidak hanya terjadi di Negara Indonesia namun hampir diseluruh daratan asia. Pada tahun 1920 Tan Malaka ditawari oleh Dr.C.W Janssen Untuk Mengajar anak-anak buruh perkebunan teh di sanemba Tanjung Morawa Deli. Disinilah karir Tan Malaka Sebagai Guru Di mulai, ia memiliki semboyan mengenai apa itu menjadi guru baginya mengajar Anak-anak Indonesia adalah tugas tersuci dan terpenting. Tidak hanya mengajar pada masa itu Tan Malaka banyak menulis mengenai keadaan buruh baik ia tulis untuk catatan pribadinya ataupun menulis untuk media massa tulisan-tulisannya banyak menyinggung tentang perbedaan yang sangat mencolok antara kaum buruh dan kaum kapitalisme.
Sebagai seorang guru yang juga memiliki cita-cita tentang kemerdekaan bangsanya, Tan Malaka melihat betapa perlunya pendidikan bagi kaum pribumi, hal ini untuk mempertajam kecerdasan, dam memperkukuh kemauan dan memperhalus perasaan. Dalam menjalankan tugasnya sebagai guru Tan Malaka tidak hanya menanamkan kecerdasan yang bersifat Kognitif, kecerdasan dalam hal psikomotorik juga perlu di kembangkan agar kelak kaum buruh lebih terampil dalam mengurusi kehidupan mereka dan tidak berpangku pada satu penghasilan saja.
Perjuangannya dalam hal pendidikan tidak hanya ia tuangakan di bangku pembelajaran semangatnya ini selalu ia bawa dalam pertemuan-pertemuan penting dan juga dalam setiap pidatonya. Tan Malaka sangat menentang praktik kebarat-baratan yang dilakukan oleh segelitir pribumi padahal di sisi lain orang-orang Indonesia masih banyak membutuhkan perhatian lebih, hal itu ia ungkapkan secara tegas pada rapat buruh di Semarang, ungkapan itu didasari oleh tindakan para atasan perkebunan mengenai pendidikan untuk anak buruh perkebunan hanya membuang-buang waktu dan anggaran. Bagi kaum elit Belanda anak-anak kuli nantinya hanya akan mengikuti jejak bapaknya jadi percuma saja banyak mengenal huruf jika kelak yang mereka lakukan hanya mencangkul dan menanam. Taktik ini juga digunakan agar mereka dapat membayar para buruh perkebunan dengan harga murah.
Pengalamanya di Delli ini kemudian membentuk semangat ptriotisme dalam dalam melawan penjajah. Dalam benaknya pendidikan yang ia perjuangkan semata-mata mengenai Rakyat, bukan pendidikan kaum borjuis. Kaum buruh menjadi dasar idealismenya dalam hal pendidikan, hal ini terus ia pegang teguh selama ia berjuang sejak menjadi guru di delli hingga ia mendirikan sekolah Sarekat Islam.
Semangat yang telah Tan Malaka ajarkan pada masa menjadi bukti bagaiman ruang-ruang pendidikan begitu sedikit terutama bagi kaum buruh. Pandangan luas mengenai pendidikan tentunya harus diterima oleh setiap manusia di muka bumi ini. Konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Tan Malaka tidak boleh berhenti begitu saja, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan pada garis bawah kehidupan. Peran guru juga harus menjadi sentral dalam menangkal semua kemungkinan buruk yang terjadi di masyarakat Indonesia. Tawaran pendidikan bukan hanya mengenai kecerdasaan secara intelektual namun juga harus menekankan perubahan emosinal kearah yang lebih baik serta kemandirian dari keterampilan yang dimiliki masing masing personal.
Arah tujuan pendidikan tentunya harus benar-benar di pahami agar dikemudian hari tidak ada tuntutan tentang hasil pendidikan yang hanya berorientasi pada materi semata. Pendidikan tidak harus merubah semua manusia menjadi kaum borjuis tetapi harus mampu memenuhi kebutuhan setiap manusia pada setiap golongan. Tan Malaka telah memberikan banyak pelajaran tentang apa yang ia lakukan bukan untuk menjadikan manusia tamak akan kekuasaan tetapi sadar akan kebutuhan secara personal.
Kontributor : Wawan Hermawan
Sumber
Badruddin. (2014). Kisah Tan Malaka Dari Balik Penjara Dan Pengasingan. Yogyakarta: Araska.
Malaka, T. (2013). Islam Dalam MANDILOG. Bandung: Sega Arsy.
Santosa, K. O. (2016). Tan Malaka Dan Sjahrir Dalam Kemelut Sejarah. Bandung: Sega Arsy.