Minggu, 20 April 2025

Kartini: Lebih dari Sekadar Emansipasi Wanita




“Tidak ada bangsa yang abadi, hanya cahaya matahari yang abadi. Dari malam gelap, sering pagi yang terindah akan terbit. Di sini saya merasa bangga.”


sejarah31.com-Di tengah kegelapan feodal Jawa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, muncul setitik cahaya yang kemudian menjelma menjadi obor perubahan. Cahaya itu bernama Raden Ajeng Kartini, seorang wanita ningrat anak ke 4 dari RM Sosroningrat dengan Mas Ajeng Ngasirah yang lahir pada 21 April 1879 ia tak hanya menerima takdirnya sebagai nigrat Jawa, namun berani mempertanyakan dan mendobrak batas-batas yang mengekang kaumnya. Lebih dari sekadar simbol emansipasi wanita, peran Kartini merentang jauh, menginspirasi perubahan sosial, pendidikan, dan bahkan nasionalisme di Indonesia.

Kartini lahir dalam lingkungan priyayi yang memberikannya akses pendidikan yang langka bagi perempuan pada masanya. Namun, keterbatasan geraknya dan ketidakadilan yang ia saksikan bagi perempuan Jawa membangkitkan gejolak dalam benaknya, budaya saat itu memihak pada kaum laki-laki mengakibatkan perempuan begitu terpinggirkan. Melalui surat-suratnya kepada sahabat-sahabatnya di Belanda, Kartini menuangkan pemikiran-pemikirannya yang progresif tentang pendidikan, kesetaraan gender, dan kemajuan bangsa. Surat-surat yang kemudian dibukukan dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang" ini menjadi saksi bisu perjuangan seorang wanita yang mendambakan kebebasan dan kemajuan bagi kaumnya.

Peran Kartini yang paling monumental tentu saja adalah advokasinya terhadap pendidikan perempuan. Ia menyadari betul bahwa pendidikan adalah kunci untuk membuka pikiran, memberdayakan perempuan, dan memajukan bangsa. Baginya, perempuan tidak seharusnya hanya berkutat di dapur dan mengurus anak. Mereka memiliki potensi yang sama dengan laki-laki untuk berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan. Impiannya untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan dari berbagai kalangan akhirnya terwujud meski dalam waktu yang singkat sebelum ia wafat. Sekolah Kartini menjadi simbol perjuangan dan harapan bagi generasi perempuan selanjutnya.

Namun, peran Kartini tidak hanya terbatas pada isu perempuan. Pemikirannya yang mendalam juga menyentuh aspek sosial dan budaya. Ia mengkritik praktik-praktik feodal yang dianggapnya menghambat kemajuan, seperti pernikahan paksa dan diskriminasi kelas. Ia mendambakan masyarakat yang lebih adil dan terbuka, di mana setiap individu dihargai berdasarkan kemampuannya, bukan hanya karena status sosialnya.

Lebih jauh lagi, gagasan-gagasan Kartini secara tidak langsung menumbuhkan benih-benih nasionalisme. Kesadarannya akan ketertinggalan bangsa Indonesia dibandingkan dengan bangsa-bangsa Eropa, serta kerinduannya akan kemajuan dan kemerdekaan, tercermin dalam surat-suratnya. Meskipun ia tidak secara langsung terlibat dalam gerakan politik, pemikirannya tentang persatuan dan kemajuan bangsa menjadi inspirasi bagi para pejuang kemerdekaan di kemudian hari. Setelah wafatnya RA Kartini muncul benih benih perempuan yang terinspirasi dari jejak Kartini salah satunya RA Mirjan yang menjadikan Pendidikan sebagai pijakan berpikirnya ia juga orang pertama yang menerapkan ide Raden Ajeng Kartini.

Meskipun Kartini hidup dalam waktu yang singkat, warisannya terus hidup dan menginspirasi hingga kini. Tanggal kelahirannya, 21 April, diperingati sebagai Hari Kartini, bukan hanya sebagai seremoni belaka, tetapi sebagai pengingat akan pentingnya perjuangan untuk kesetaraan, pendidikan, dan kemajuan bangsa. Semangat Kartini yang berani bermimpi dan berjuang melawan keterbatasan relevan hingga saat ini, di mana tantangan kesetaraan gender dan kualitas pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia.

Kartini bukan hanya sekadar tokoh sejarah. Ia adalah simbol keberanian, kecerdasan, dan semangat perubahan. Perannya yang melampaui zamannya telah meletakkan dasar bagi emansipasi perempuan dan kemajuan bangsa Indonesia. Cahaya Kartini akan terus bersinar, menginspirasi generasi demi generasi untuk terus berjuang demi keadilan dan kemajuan.


Sabtu, 19 April 2025

Buku : Bila ABRI Berbisnis

 

e-book ada di bagian bawah

sejarah31.com-Buku "Bila ABRI Berbisnis" yang diterbitkan oleh Mizan menghadirkan sebuah analisis mendalam dan kritis mengenai keterlibatan militer (ABRI, kini TNI) dalam kegiatan bisnis di Indonesia. Ditulis oleh tim peneliti yang diketuai oleh r. Indria Samego, buku ini berusaha untuk mengungkap data, kasus penyimpangan, serta praktik bisnis yang dilakukan oleh kalangan militer pada masanya. Terbit di era transisi menuju reformasi, buku ini menjadi penting karena mengangkat isu sensitif yang memiliki implikasi besar terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan sosial di Indonesia.

Salah satu kekuatan utama buku ini terletak pada keberaniannya untuk membuka tabir praktik bisnis militer yang selama beberapa dekade cenderung tertutup dari sorotan publik. Melalui riset yang mendalam, penulis menyajikan berbagai data dan studi kasus yang menggambarkan bagaimana ABRI, sebagai sebuah institusi yang seharusnya fokus pada pertahanan dan keamanan negara, juga merambah ke berbagai sektor ekonomi. Mulai dari kepemilikan perusahaan, pengelolaan proyek, hingga berbagai bentuk kerjasama bisnis lainnya diungkap dengan detail.

Buku ini tidak hanya berhenti pada deskripsi praktik bisnis militer, tetapi juga menganalisis dampak negatif yang ditimbulkan. Penulis menyoroti potensi terjadinya konflik kepentingan, praktik korupsi, inefisiensi ekonomi, serta distorsi dalam persaingan usaha yang sehat akibat dominasi kekuatan militer dalam sektor bisnis. Lebih lanjut, buku ini juga mengaitkan keterlibatan bisnis militer dengan isu-isu seperti pelanggaran hak asasi manusia dan impunitas, mengingat sumber daya ekonomi yang dimiliki militer dapat memperkuat posisi mereka di luar ranah profesionalnya.

Gaya penulisan buku ini cenderung lugas dan informatif, didukung oleh data dan fakta yang terstruktur. Meskipun membahas isu yang kompleks, penulis berusaha untuk menyajikannya dengan bahasa yang relatif mudah dipahami oleh pembaca awam. Penggunaan studi kasus konkret membantu pembaca untuk memvisualisasikan dan memahami bagaimana praktik bisnis militer berjalan di lapangan serta dampaknya terhadap berbagai aspek kehidupan.

Namun, sebagai sebuah karya yang terbit di masa transisi, buku ini mungkin memiliki beberapa keterbatasan dalam hal akses terhadap informasi yang lebih mendalam atau perkembangan terkini setelah reformasi. Meskipun demikian, "Bila ABRI Berbisnis" tetap relevan sebagai dokumen penting yang merekam jejak keterlibatan militer dalam ekonomi Indonesia pada masa lalu dan menjadi landasan untuk memahami dinamika hubungan sipil-militer serta reformasi sektor keamanan di masa kini.

Secara keseluruhan, "Bila ABRI Berbisnis" cetakan Mizan adalah bacaan yang sangat penting bagi siapa saja yang tertarik untuk memahami akar permasalahan korupsi, relasi sipil-militer, dan perkembangan ekonomi-politik di Indonesia pasca Orde Baru. Keberanian buku ini dalam mengungkap praktik bisnis militer menjadikannya kontribusi signifikan dalam diskursus publik mengenai reformasi dan demokratisasi di Indonesia. Buku ini mendorong pembaca untuk merenungkan kembali peran ideal militer dalam negara demokrasi dan pentingnya pemisahan yang jelas antara fungsi pertahanan keamanan dengan kepentingan ekonomi.
 


Jumat, 18 April 2025

Jejak Hindu di Wilayah Garut: Candi Cangkuang Sebagai Saksi Bisu


sejarah31.com - Garut, sebuah kabupaten yang dikenal dengan keindahan alamnya saking indahnya garut memiliki julukan Swiss Van Java tidak hanya sebatas keindahan alam Garut juga menyimpan pula jejak-jejak peradaban masa lalu yang menarik untuk ditelusuri. Di tengah lanskap pegunungan dan lembah yang subur, tersembunyi sebuah situs purbakala yang menjadi saksi bisu pengaruh agama Hindu di tatar Sunda: Candi Cangkuang. Keberadaan candi ini di Kecamatan Leles tidak hanya menjadi penanda penting dalam sejarah Garut, tetapi juga membuka jendela wawasan tentang interaksi budaya dan agama di Jawa Barat pada masa lampau.

Candi Cangkuang bukanlah candi megah seperti yang banyak ditemukan di Jawa Tengah. Bentuknya yang relatif sederhana, dengan ukuran yang tidak terlalu besar, justru menyimpan nilai historis dan arkeologis yang sangat berharga. Candi ini diperkirakan berasal dari abad ke-8 Masehi, sezaman dengan beberapa candi Hindu-Buddha awal di Jawa Barat seperti Candi Batujaya dan Candi Bojongmenje.

Lokasi Candi Cangkuang


Keunikan Candi Cangkuang terletak pada lokasinya yang berada di tengah danau kecil, Situ Cangkuang. Penemuan kembali candi ini pada tahun 1966 oleh tim peneliti Harsoyo dan Uka Tjandrasasmita berdasarkan laporan Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch Genotschap terbitan tahun 1893 mengenai adanya sebuah arca yang rusak serta makam kuno di bukit Kampung Pulo, Leles,  tim arkeolog membuktikan keberadaan komunitas Hindu yang pernah eksis di wilayah ini. Proses rekonstruksi yang dilakukan kemudian menghadirkan kembali bangunan candi yang sempat terpendam dan terlupakan.

Keberadaan Candi Cangkuang secara jelas mengindikasikan adanya pengaruh agama Hindu di wilayah Garut pada masa lampau. Beberapa aspek yang memperkuat hal ini seperi Arsitektur Candi, Meskipun sederhana arsitektur Candi Cangkuang memiliki elemen-elemen khas bangunan suci Hindu pada masanya. Struktur bangunan, tata letak, dan kemungkinan adanya arca dewa-dewi (meskipun kini hanya tersisa fondasinya) menjadi penanda kuat akan latar belakang keagamaannya. Penemuan Arca Siwa Salah satu temuan paling signifikan di situs Candi Cangkuang adalah arca Dewa Siwa. Arca ini, meskipun tidak utuh, menjadi bukti kuat bahwa candi ini didedikasikan untuk pemujaan Dewa Siwa, salah satu dewa utama dalam agama Hindu. Gaya arca yang ditemukan memiliki kemiripan dengan gaya arca dari periode yang sama di wilayah Jawa Barat lainnya, mengindikasikan adanya jaringan budaya dan keagamaan.

Candi Cangkuang bukan hanya sekadar peninggalan sejarah, tetapi juga merupakan warisan budaya yang memiliki nilai penting bagi pemahaman akan keragaman budaya dan agama di Indonesia. Keberadaannya mengingatkan kita bahwa wilayah Garut memiliki akar sejarah yang kaya dan terhubung dengan perkembangan peradaban di Nusantara pada masa lampau.

Upaya pelestarian dan pengembangan situs Candi Cangkuang sebagai objek wisata sejarah dan budaya menjadi sangat penting. Dengan mengenalkan situs ini kepada generasi muda dan masyarakat luas, kita tidak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya toleransi dan pemahaman terhadap keberagaman sejarah dan budaya bangsa.

Candi Cangkuang di Leles, Garut, menjadi bukti nyata jejak pengaruh Hindu di wilayah ini. Keberadaannya menjadi pengingat akan masa lalu yang kaya dan kompleks, serta pentingnya menjaga dan melestarikan warisan budaya sebagai bagian dari identitas bangsa. Mari kita terus menggali dan mempelajari jejak-jejak sejarah di sekitar kita, karena di sanalah kita dapat menemukan pemahaman yang lebih dalam tentang siapa diri kita dan dari mana kita berasal.

Selasa, 15 April 2025

Meneladani H. Agus Salim: Pendidikan Rumah yang Membentuk Karakter Bangsa


sejarah31.com - H. Agus Salim, yang memiliki julukan "Singa Podium" dikenal dengan kepaiwaannya mengolah bahasa, ketegasan serta kecerdasan  dalam menyampaikan gagasan-gagasaan bangsa di tengah ruang diskusi yang dienuhi para penjajah, ternyata juga merupakan sosok ayah dan pendidik yang luar biasa bagi kedelapan anaknya. Di tengah kesibukannya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, ia dan sang istri, Zaenatun Nahar, memilih jalur pendidikan rumah (homeschooling) bagi anak-anak mereka. Keputusan yang terbilang revolusioner pada masanya ini didasari oleh ketidakpuasan H. Agus Salim terhadap sistem pendidikan kolonial yang dianggap diskriminatif dan tidak memerdekakan jiwa.

Pendidikan di rumah ala H. Agus Salim bukan berarti tanpa aturan. Justru, ia menanamkan disiplin yang kuat pada anak-anaknya, bukan melalui paksaan, melainkan melalui keteladanan. Ia menunjukkan langsung bagaimana seharusnya hidup dijalani dengan sederhana, jujur, bertanggung jawab, dan penuh pengorbanan. ke delapan anaknya menyaksikan ayahnya yang gemar membaca, menulis, berdiskusi, beribadah, dan aktif menolong sesama. Inilah kurikulum utama dalam keluarga Salim: keteladanan sebagai inti pendidikan.

Salah satu ciri khas pendidikan H. Agus Salim adalah suasana belajar yang fleksibel dan menyenangkan. Tidak ada jadwal belajar yang kaku. Anak-anak belajar membaca, menulis, berhitung, serta ilmu agama dan budi pekerti sambil bermain atau dalam obrolan sehari-hari. Ia dan istrinya bahkan mengajak anak-anak berbicara dalam bahasa Belanda sejak lahir, sebuah langkah visioner untuk membekali mereka dengan bahasa ilmu pengetahuan pada masa itu.

H. Agus Salim juga mendorong anak-anaknya untuk berpikir kritis dan berani berpendapat. Ia membuka ruang diskusi yang hangat, tidak keberatan dibantah asalkan dengan alasan yang tepat. Baginya, pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi juga menumbuhkan daya nalar dan nurani. Ia memperlakukan anak-anaknya sebagai individu yang utuh, yang memiliki hak untuk bertanya, mengkritik, dan memiliki pandangan sendiri.

Lebih dari sekadar kepintaran akademis, H. Agus Salim mengutamakan pendidikan karakter dan akhlak. Ia menanamkan nilai-nilai Islam, kemanusiaan, dan kebangsaan sejak dini. Dalam sebuah kisah, ketika seorang anaknya hendak mencuri karena lapar, H. Agus Salim tidak marah, melainkan menjelaskan makna amanah dan keadilan, menanamkan pemahaman bahwa kesulitan tidak menghalalkan segala cara.

Metode pendidikan H. Agus Salim terbukti berhasil. Kedelapan anaknya tumbuh menjadi individu yang cerdas, berkarakter kuat, mandiri, dan memiliki kontribusi positif bagi bangsa. Mereka menguasai berbagai bahasa asing, memiliki wawasan luas, dan memiliki semangat juang yang tinggi seperti ayah mereka.

Kisah H. Agus Salim dalam mendidik anak-anaknya memberikan inspirasi berharga bagi para orang tua masa kini. Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, prinsip-prinsip pendidikannya tetap relevan:

Keteladanan: Orang tua adalah contoh utama bagi anak-anak.

Fleksibilitas dan Kenyamanan: Ciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan tidak menekan.

Berpikir Kritis dan Dialog: Dorong anak untuk bertanya, berpendapat, dan bernalar.

Pendidikan Karakter: Utamakan pembentukan akhlak dan nilai-nilai luhur.

Keseimbangan Ilmu Dunia dan Akhirat: Bekali anak dengan pengetahuan yang bermanfaat untuk kehidupan dunia dan spiritual.

Dengan meneladani H. Agus Salim, kita dapat membangun generasi penerus bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan cinta tanah air. Pendidikan di rumah, dengan sentuhan kasih sayang dan keteladanan orang tua, terbukti mampu melahirkan individu-individu berkualitas yang siap berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara.