![]() |
e-book ada di bagian bawah |
MARI BERBAGI HAL BAIK
![]() |
e-book ada di bagian bawah |
sejarah31.com - Garut, sebuah kabupaten yang dikenal dengan keindahan alamnya saking indahnya garut memiliki julukan Swiss Van Java tidak hanya sebatas keindahan alam Garut juga menyimpan pula jejak-jejak peradaban masa lalu yang menarik untuk ditelusuri. Di tengah lanskap pegunungan dan lembah yang subur, tersembunyi sebuah situs purbakala yang menjadi saksi bisu pengaruh agama Hindu di tatar Sunda: Candi Cangkuang. Keberadaan candi ini di Kecamatan Leles tidak hanya menjadi penanda penting dalam sejarah Garut, tetapi juga membuka jendela wawasan tentang interaksi budaya dan agama di Jawa Barat pada masa lampau.
Candi Cangkuang bukanlah candi megah seperti yang banyak ditemukan di Jawa Tengah. Bentuknya yang relatif sederhana, dengan ukuran yang tidak terlalu besar, justru menyimpan nilai historis dan arkeologis yang sangat berharga. Candi ini diperkirakan berasal dari abad ke-8 Masehi, sezaman dengan beberapa candi Hindu-Buddha awal di Jawa Barat seperti Candi Batujaya dan Candi Bojongmenje.
Lokasi Candi Cangkuang |
Keberadaan Candi Cangkuang secara jelas mengindikasikan adanya pengaruh agama Hindu di wilayah Garut pada masa lampau. Beberapa aspek yang memperkuat hal ini seperi Arsitektur Candi, Meskipun sederhana arsitektur Candi Cangkuang memiliki elemen-elemen khas bangunan suci Hindu pada masanya. Struktur bangunan, tata letak, dan kemungkinan adanya arca dewa-dewi (meskipun kini hanya tersisa fondasinya) menjadi penanda kuat akan latar belakang keagamaannya. Penemuan Arca Siwa Salah satu temuan paling signifikan di situs Candi Cangkuang adalah arca Dewa Siwa. Arca ini, meskipun tidak utuh, menjadi bukti kuat bahwa candi ini didedikasikan untuk pemujaan Dewa Siwa, salah satu dewa utama dalam agama Hindu. Gaya arca yang ditemukan memiliki kemiripan dengan gaya arca dari periode yang sama di wilayah Jawa Barat lainnya, mengindikasikan adanya jaringan budaya dan keagamaan.
Candi Cangkuang bukan hanya sekadar peninggalan sejarah, tetapi juga merupakan warisan budaya yang memiliki nilai penting bagi pemahaman akan keragaman budaya dan agama di Indonesia. Keberadaannya mengingatkan kita bahwa wilayah Garut memiliki akar sejarah yang kaya dan terhubung dengan perkembangan peradaban di Nusantara pada masa lampau.
Upaya pelestarian dan pengembangan situs Candi Cangkuang sebagai objek wisata sejarah dan budaya menjadi sangat penting. Dengan mengenalkan situs ini kepada generasi muda dan masyarakat luas, kita tidak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya toleransi dan pemahaman terhadap keberagaman sejarah dan budaya bangsa.
Candi Cangkuang di Leles, Garut, menjadi bukti nyata jejak pengaruh Hindu di wilayah ini. Keberadaannya menjadi pengingat akan masa lalu yang kaya dan kompleks, serta pentingnya menjaga dan melestarikan warisan budaya sebagai bagian dari identitas bangsa. Mari kita terus menggali dan mempelajari jejak-jejak sejarah di sekitar kita, karena di sanalah kita dapat menemukan pemahaman yang lebih dalam tentang siapa diri kita dan dari mana kita berasal.
sejarah31.com - H. Agus Salim, yang memiliki julukan "Singa Podium" dikenal dengan kepaiwaannya mengolah bahasa, ketegasan serta kecerdasan dalam menyampaikan gagasan-gagasaan bangsa di tengah ruang diskusi yang dienuhi para penjajah, ternyata juga merupakan sosok ayah dan pendidik yang luar biasa bagi kedelapan anaknya. Di tengah kesibukannya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, ia dan sang istri, Zaenatun Nahar, memilih jalur pendidikan rumah (homeschooling) bagi anak-anak mereka. Keputusan yang terbilang revolusioner pada masanya ini didasari oleh ketidakpuasan H. Agus Salim terhadap sistem pendidikan kolonial yang dianggap diskriminatif dan tidak memerdekakan jiwa.
Pendidikan di rumah ala H. Agus Salim bukan berarti tanpa aturan. Justru, ia menanamkan disiplin yang kuat pada anak-anaknya, bukan melalui paksaan, melainkan melalui keteladanan. Ia menunjukkan langsung bagaimana seharusnya hidup dijalani dengan sederhana, jujur, bertanggung jawab, dan penuh pengorbanan. ke delapan anaknya menyaksikan ayahnya yang gemar membaca, menulis, berdiskusi, beribadah, dan aktif menolong sesama. Inilah kurikulum utama dalam keluarga Salim: keteladanan sebagai inti pendidikan.
Salah satu ciri khas pendidikan H. Agus Salim adalah suasana belajar yang fleksibel dan menyenangkan. Tidak ada jadwal belajar yang kaku. Anak-anak belajar membaca, menulis, berhitung, serta ilmu agama dan budi pekerti sambil bermain atau dalam obrolan sehari-hari. Ia dan istrinya bahkan mengajak anak-anak berbicara dalam bahasa Belanda sejak lahir, sebuah langkah visioner untuk membekali mereka dengan bahasa ilmu pengetahuan pada masa itu.
H. Agus Salim juga mendorong anak-anaknya untuk berpikir kritis dan berani berpendapat. Ia membuka ruang diskusi yang hangat, tidak keberatan dibantah asalkan dengan alasan yang tepat. Baginya, pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi juga menumbuhkan daya nalar dan nurani. Ia memperlakukan anak-anaknya sebagai individu yang utuh, yang memiliki hak untuk bertanya, mengkritik, dan memiliki pandangan sendiri.
Lebih dari sekadar kepintaran akademis, H. Agus Salim mengutamakan pendidikan karakter dan akhlak. Ia menanamkan nilai-nilai Islam, kemanusiaan, dan kebangsaan sejak dini. Dalam sebuah kisah, ketika seorang anaknya hendak mencuri karena lapar, H. Agus Salim tidak marah, melainkan menjelaskan makna amanah dan keadilan, menanamkan pemahaman bahwa kesulitan tidak menghalalkan segala cara.
Metode pendidikan H. Agus Salim terbukti berhasil. Kedelapan anaknya tumbuh menjadi individu yang cerdas, berkarakter kuat, mandiri, dan memiliki kontribusi positif bagi bangsa. Mereka menguasai berbagai bahasa asing, memiliki wawasan luas, dan memiliki semangat juang yang tinggi seperti ayah mereka.
Kisah H. Agus Salim dalam mendidik anak-anaknya memberikan inspirasi berharga bagi para orang tua masa kini. Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, prinsip-prinsip pendidikannya tetap relevan:
Keteladanan: Orang tua adalah contoh utama bagi anak-anak.
Fleksibilitas dan Kenyamanan: Ciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan tidak menekan.
Berpikir Kritis dan Dialog: Dorong anak untuk bertanya, berpendapat, dan bernalar.
Pendidikan Karakter: Utamakan pembentukan akhlak dan nilai-nilai luhur.
Keseimbangan Ilmu Dunia dan Akhirat: Bekali anak dengan pengetahuan yang bermanfaat untuk kehidupan dunia dan spiritual.
Dengan meneladani H. Agus Salim, kita dapat membangun generasi penerus bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan cinta tanah air. Pendidikan di rumah, dengan sentuhan kasih sayang dan keteladanan orang tua, terbukti mampu melahirkan individu-individu berkualitas yang siap berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara.
Gagasan Dwi Fungsi ABRI tidak muncul tiba-tiba. TNI yang dahulu bernama TKR dan TRI lahir dari rakyat dan turut aktif dalam revolusi fisik. Pengalaman ini menumbuhkan pemahaman bahwa militer bukan sekadar alat negara, dari konsep ini kemudian Jenderal Abdul Haris Nasution meng arsiteki konseptual Dwi Fungsi. Beliau melihat militer memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya menjaga keamanan dari ancaman eksternal dan internal, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan nasional dan stabilitas politik. Gagasan ini tertuang dalam konsep "Jalan Tengah" yang berusaha menyeimbangkan antara model militer Barat yang fokus pada pertahanan dan model di negara-negara berkembang di mana militer seringkali mengambil alih kekuasaan secara langsung.
Dwi Fungsi ABRI mencapai puncaknya pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Militer tidak hanya menduduki posisi-posisi kunci dalam pemerintahan, parlemen, dan birokrasi, tetapi juga memiliki pengaruh yang signifikan dalam pengambilan kebijakan di berbagai sektor. bukan hanya sekedar kebijakan namun Dwi Fungsi ABRI Menjadi legitimasi kekusaan Suharto sehingga proses masa jabatannya sebagai presiden dapat Langgeng hingga puluhan tahun.
Selain dari pada itu pada masa Dwi Fungsi ABRI Perwira-perwira militer aktif menduduki jabatan gubernur, bupati, menteri, anggota parlemen, hingga pimpinan BUMN. Ini memberikan militer akses langsung ke sumber daya dan pengambilan keputusan.ABRI juga memainkan peran sentral dalam berbagai operasi keamanan dan penertiban, seringkali dengan pendekatan represif terhadap gerakan-gerakan politik yang dianggap mengancam stabilitas. Seiring berjalannya waktu, Dwi Fungsi ABRI menuai kritik tajam. Keterlibatan militer yang terlalu dalam dalam politik dan ekonomi dianggap menghambat perkembangan demokrasi, memicu praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta melahirkan pelanggaran hak asasi manusia.
Kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998 membuka ruang bagi reformasi yang signifikan terhadap peran ABRI yang kemudian berganti nama menjadi TNI. pada saat itu tuntutan demonstran salah satunya ialah penghormatan terhadap supremasi sipil. Salah satu tuntutan reformasi yang paling mendasar adalah penghapusan Dwi Fungsi ABRI. Proses ini berjalan bertahap dengan menarik militer dari jabatan-jabatan sipil dan membatasi peran mereka dalam politik. Fokus TNI dikembalikan pada fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara. Undang-undang tentang TNI dan Kepolisian direvisi untuk memperjelas batas-batas kewenangan dan tanggung jawab masing-masing.
Meskipun Dwi Fungsi secara formal telah dihapuskan, pemahaman tentang sejarahnya penting untuk tetap mengawal reformasi TNI dan memastikan bahwa militer tetap profesional dan tunduk pada supremasi sipil dalam negara demokrasi. Sejarah telah memberikan gambaran jelas tentang bagaimana proses Dwi Fungsi ABRI dalam Negara Demokrasi untuk memahami lebih jelas dan sejarah tidak terulang ada baiknya kita sama-sama berefleksi pada Waktu yang lampau.
Sumber bacaan lanjutan.
Nasution, A.H. (1966). The Dwifungsi of the Indonesian Armed Forces. Jakarta: S. Manurung. (Sumber primer tentang konsep Dwi Fungsi)
Crouch, Harold. (1978). The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press. (Analisis komprehensif tentang peran militer dalam politik Indonesia)
Schwarz, Adam. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability. Boulder: Westview Press. (Konteks politik dan sosial Orde Baru)
Herb Feith & Lance Castles (Eds.). (1970). Indonesian Political Thinking 1945-1965. Ithaca: Cornell University Press. (Pemikiran politik awal kemerdekaan)
McVey, Ruth T. (2000). Making Indonesia. Ithaca: Cornell Southeast Asia Program. (Sejarah pembentukan negara Indonesia)
Komnas HAM. (Berbagai laporan investigasi pelanggaran HAM masa lalu). (Sumber penting untuk memahami dampak negatif Dwi Fungsi)