Membaca Ulang Luka, Merawat Kemanusiaan: Refleksi Hari HAM Sedunia dan Tantangan Kepekaan Publik
Indonesia dan Rekam Jejak Pelanggaran HAM: Membaca Masa Lalu sebagai Pengetahuan Kemanusiaan
Sejumlah peristiwa yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat telah meninggalkan jejak historis dan sosial yang panjang. Pelanggaran HAM berat mengacu pada tindakan seperti pembunuhan massal, penghilangan paksa, dan penyiksaan, sebagaimana dipahami dalam hukum humaniter dan hukum HAM internasional[^1].
1. Peristiwa 1965–1966
Rangkaian pembunuhan dan penahanan terhadap mereka yang dituduh terlibat atau berafiliasi dengan PKI meninggalkan trauma kolektif yang masih terasa hingga kini. Penelitian akademik menunjukkan bahwa peristiwa ini memiliki dimensi yang kompleks: politik, sosial, psikologis, dan moral[^2].
2. Peristiwa Talangsari 1989
Kasus Talangsari menjadi contoh nyata bagaimana aparat keamanan dapat bertindak di luar prinsip necessity dan proportionality —dua prinsip fundamental dalam standar HAM internasional[^3].
3. Tragedi Trisakti, Semanggi I & II
Peristiwa ini memperlihatkan bagaimana dalam situasi transisi politik, risiko kekerasan negara dapat meningkat apabila kontrol sipil terhadap aparat melemah. Literatur tentang demokratisasi menekankan bahwa penghormatan HAM adalah elemen kunci konsolidasi demokrasi[^4].
4. Pelanggaran HAM di Aceh dan Papua
Berbagai laporan memperlihatkan pola kekerasan struktural terhadap warga sipil. Studi mengenai konflik Aceh dan Papua menekankan bahwa masalah utama bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga marginalisasi, ketidakpercayaan, dan relasi negara-warga yang tidak setara[^5].
Penyelesaian Pelanggaran HAM: antara Ideal Normatif dan Realitas Praktis
Indonesia menggunakan dua jalur penyelesaian: yudisial dan non-yudisial.
A. Jalur Yudisial
UU No. 26 Tahun 2000 memberi kerangka hukum pembentukan Pengadilan HAM. Namun literatur transitional justice menunjukkan bahwa kasus pelanggaran HAM berat sering menghadapi hambatan struktural, terutama ketika pelaku memiliki posisi kuat dalam institusi negara[^6].
Hal ini menimbulkan apa yang dikenal sebagai accountability gap —ketimpangan antara tuntutan korban dan kemampuan negara menghadirkan keadilan.
B. Jalur Non-Yudisial
Pendekatan non-yudisial berupa pengakuan negara, pemulihan, dan rehabilitasi hak-hak korban.
Namun pendekatan ini perlu dikritisi. Teori truth and reconciliation menekankan setidaknya dua prasyarat agar rekonsiliasi bermakna[^7]:
1. pengungkapan kebenaran , bukan sekadar pengakuan formal,
2. pertanggungjawaban moral , agar rekonsiliasi tidak menjelma menjadi legitimasi impunitas.
Kepekaan HAM sebagai Modal Sosial: Tantangan Masyarakat Indonesia Kontemporer
Kepekaan HAM ( human rights sensitivity ) adalah kemampuan memahami situasi ketidakadilan secara sadar dan responsif. Dalam perspektif sosiologi hukum, kepekaan publik merupakan bagian dari budaya hukum yang menentukan efektivitas penegakan HAM[^8].
A. HAM sebagai Nilai Moral, Bukan Sekadar Norma Legal
Para teoretikus HAM berpendapat bahwa hak asasi bukanlah produk negara, melainkan klaim moral yang melekat pada eksistensi manusia[^9]. Oleh karena itu, penanaman nilai HAM harus melampaui batasan formal hukum.
B. Isu HAM Kontemporer
Kepekaan masyarakat diuji oleh berbagai isu modern:
intoleransi terhadap kelompok minoritas, pembatasan ruang kebebasan sipil, ketidakadilan ekonomi dan sosial, krisis lingkungan yang mengancam hak generasi mendatang.
Literatur human security menegaskan bahwa HAM kini tidak hanya tentang kekerasan fisik, tetapi juga akses terhadap kesejahteraan dasar[^10].
C. Peran Individu dan Kolektivitas
Budaya HAM tidak tumbuh dari kebijakan saja, tetapi dari:
1. Edukasi kritis ,
2. Empati ,
3. Partisipasi aktif .
Konsep active citizenship menekankan bahwa kualitas demokrasi meningkat ketika warga berani bersuara dan terlibat dalam advokasi sosial[^11].
Menatap Masa Depan dengan Kesadaran Kemanusiaan
Hari HAM Sedunia adalah undangan untuk membaca ulang luka bangsa dan memastikan bahwa ketidakadilan tidak menjadi bab yang berulang dalam sejarah. Penyelesaian pelanggaran HAM membutuhkan komitmen negara dan kesadaran masyarakat.
Pada akhirnya, bangsa yang matang adalah bangsa yang mampu mengakui masa lalunya, memulihkannya secara bermartabat, dan memastikan bahwa nilai kemanusiaan menjadi fondasi masa depannya.
Catatan Kaki Akademik
[^1]: Donnelly, Jack. Universal Human Rights in Theory and Practice . Cornell University Press, 2013.
[^2]: Roosa, John. Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia . University of Wisconsin Press, 2006.
[^3]: Buergenthal, Thomas. International Human Rights . West Publishing, 2009.
[^4]: O’Donnell, Guillermo & Schmitter, Philippe. Transitions from Authoritarian Rule . Johns Hopkins University Press, 1986.
[^5]: Aspinall, Edward. Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia . Stanford University Press, 2009.
[^6]: Skaar, Elin. Judicial Independence and Human Rights in Latin America: Violations, Politics, and Prosecution . Palgrave Macmillan, 2011 – relevan untuk menjelaskan konsep accountability gap dalam negara pasca-otoritarian.
[^7]: Hayner, Priscilla B. Unspeakable Truths: Transitional Justice and the Challenge of Truth Commissions . Routledge, 2010.
[^8]: Friedman, Lawrence M. The Legal System: A Social Science Perspective . Russell Sage Foundation, 1975.
[^9]: Nickel, James. Making Sense of Human Rights . Wiley-Blackwell, 2007.
[^10]: UNDP. Human Development Report 1994: New Dimensions of Human Security . New York: Oxford University Press.
[^11]: Gaventa, John. Power and Powerlessness: Quiescence and Rebellion in an Appalachian Valley . University of Illinois Press, 1980.

Posting Komentar untuk " Membaca Ulang Luka, Merawat Kemanusiaan: Refleksi Hari HAM Sedunia dan Tantangan Kepekaan Publik"