Refleksi: Peran Santri dalam Sejarah Pendidikan Islam dan Perjuangan Bangsa Indonesia



Hari Santri yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober mnjadi momentum penting untuk mengenang seak terjang para santri dan ulama dalam perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia. Peringatan ini bukan sekadar seremoni keagamaan, melainkan pengakuan terhadap kontribusi besar kaum santri dalam membentuk karakter bangsa, memperjuangkan kemerdekaan, serta mengembangkan sistem pendidikan Islam di Nusantara.

Pendidikan Islam di Indonesia telah hadir jauh sebelum bangsa ini mengenal sistem pendidikan modern ala Barat. Lembaga-lembaga tradisional seperti pesantren, surau, dan dayah menjadi pusat pembelajaran agama sekaligus wadah pembentukan karakter masyarakat. Dalam konteks penjajahan, pendidikan Islam juga berfungsi sebagai benteng perlawanan terhadap kolonialisme yang berusaha menguasai tidak hanya wilayah, tetapi juga pikiran dan budaya bangsa Indonesia.

Akar Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia

Menurut buku Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), pendidikan Islam pada masa awal penjajahan masih bersifat informal dan mandiri. Fokusnya adalah pengajaran Al-Qur’an, fikih, tauhid, dan akhlak, yang dilakukan di masjid, langgar, dan rumah guru agama (kyai). Buku ini Juga memberikan gambaran bahwa sistem pendidikan di Indonesia pada masa kolonial tidak hanya dibentuk oleh kebijakan penjajah, tetapi juga oleh perlawanan kultural melalui pendidikan Islam di pesantren. Di sinilah peran santri muncul — sebagai pembelajar ilmu agama sekaligus penjaga semangat kemerdekaan bangsa.

Pada masa penjajahan Belanda, pendidikan menjadi alat politik dan sosial. Melalui kebijakan Politik Etis pada awal abad ke-20, Belanda membuka sekolah-sekolah modern seperti HIS (Hollandsch Inlandsche School), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), dan AMS (Algemeene Middelbare School). Namun, akses pendidikan ini hanya diberikan kepada kalangan priyayi dan keluarga pegawai pemerintah kolonial.

Sementara itu, pendidikan Islam tetap bertahan dalam bentuk pesantren dan madrasah. Pesantren memainkan peran penting dalam menjaga identitas keislaman dan semangat kebangsaan. Para kyai tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menanamkan nilai cinta tanah air dan semangat jihad melawan penjajahan.

Belanda bahkan sempat mencurigai pesantren sebagai sarang perlawanan politik. Banyak pesantren diawasi, dan beberapa ulama mengalami penangkapan karena dianggap menyebarkan semangat anti-kolonial. Namun, tekanan ini justru memperkuat posisi pesantren sebagai benteng moral dan budaya bangsa.

 Peran Santri dalam Perjuangan Kemerdekaan Nasional

Kaum santri bukan hanya pelajar agama, melainkan juga pejuang yang ikut serta dalam berbagai gerakan kemerdekaan. Tokoh-tokoh seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Wahid Hasyim, dan KH. Zainul Arifin menunjukkan bahwa pendidikan Islam dan nasionalisme tidak pernah terpisah.

1. Resolusi Jihad 1945

   Salah satu momen paling bersejarah adalah dikeluarkannya Resolusi Jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Seruan ini menggerakkan ribuan santri dan ulama untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari kembalinya penjajah. Resolusi tersebut menjadi dasar perlawanan heroik dalam Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945, yang kini dikenang sebagai Hari Pahlawan.

2. Kontribusi Organisasi Islam

   Santri juga berperan aktif dalam organisasi-organisasi keagamaan dan sosial seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan Al-Irsyad. Melalui lembaga-lembaga tersebut, mereka tidak hanya mengembangkan pendidikan Islam yang lebih modern, tetapi juga menanamkan semangat kebangsaan dan kemandirian.

3. Peran di Bidang Politik dan Sosial

   Setelah kemerdekaan, banyak tokoh santri terlibat dalam pemerintahan dan pembangunan nasional. KH. Wahid Hasyim, misalnya, menjadi Menteri Agama Republik Indonesia yang berperan besar dalam meletakkan dasar pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri.

Refleksi dan Relevansi Hari Santri

Perjuangan santri tidak berhenti setelah Indonesia merdeka. Tantangan zaman terus berubah — dari penjajahan fisik menuju penjajahan intelektual, ekonomi, dan budaya. Di era modern, santri dihadapkan pada realitas globalisasi, perkembangan teknologi, serta perubahan sosial yang cepat. Namun, semangat perjuangan yang diwariskan para pendahulu tetap relevan dan harus diwujudkan dalam bentuk baru yang sesuai dengan konteks zaman.

Jika dahulu santri berjuang dengan bambu runcing, maka santri masa kini harus berjuang dengan pena, ilmu, dan teknologi. Santri perlu menjadi generasi yang cerdas, terbuka terhadap ilmu pengetahuan modern, namun tetap berakar pada nilai-nilai keislaman.

Pesantren di era digital harus menjadi pusat literasi dan inovasi, tempat lahirnya ulama, cendekiawan, dan profesional yang berintegritas. Santri modern harus mampu menjembatani tradisi dan modernitas — menjadi sosok yang bisa berdiri di antara nilai agama dan kemajuan zaman.

Santri modern harus mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di era digital ini, santri diharapkan tidak hanya mahir dalam ilmu agama, tetapi juga menguasai sains, literasi digital, ekonomi kreatif, dan kemampuan berpikir kritis. Hal ini sejalan dengan semangat pesantren yang menekankan tafaqquh fid-din (pendalaman agama) sekaligus khidmah lil ummah (pengabdian kepada masyarakat).

Santri harus mengingat bahwa kemerdekaan yang dinikmati hari ini adalah hasil darah dan air mata para pendahulu. Oleh karena itu, mempertahankan kemerdekaan berarti terus berjuang mencerdaskan bangsa dan menjaga keutuhan negara dengan cara-cara damai, berilmu, dan beradab.

 Kesimpulan

Sejarah pendidikan Islam di Indonesia menunjukkan bahwa pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu, melainkan juga sarana perjuangan dan pembentukan jati diri bangsa. Kaum santri, dengan nilai-nilai keikhlasan, keilmuan, dan cinta tanah air, telah memberikan kontribusi besar dalam berbagai fase sejarah — dari masa penjajahan hingga masa pembangunan.

Perjuangan santri di berbagai daerah, Dengan keterbatasan sarana, para santri tetap berdiri di garda depan melawan penjajahan demi mempertahankan kehormatan bangsa. Kini, di era modern, santri dihadapkan pada bentuk perjuangan baru: melawan kebodohan, kemiskinan, dan kerusakan moral. Perjuangan itu tidak lagi dengan senjata, tetapi dengan ilmu, teknologi, dan akhlak. Semangat santri masa lalu harus menjadi inspirasi bagi santri masa kini untuk terus menjaga keutuhan bangsa dan mengabdi kepada masyarakat dengan penuh keikhlasan.

Hari Santri bukan sekadar peringatan, tetapi juga pengingat bahwa semangat perjuangan, keilmuan, dan pengabdian adalah warisan suci yang harus dijaga sepanjang masa.


 Daftar Pustaka


1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993.

2. Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995.

3. Nata, Abuddin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia, 2016.

4. Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute, 2006.

5. Kementerian Agama RI. Sejarah Hari Santri Nasional. Jakarta: Kemenag RI, 2020.

6. Arsip Daerah Kabupaten Tasikmalaya. Perjuangan Rakyat dan Santri di Tasikmalaya Masa Revolusi Fisik 1945–1949. Tasikmalaya: Dinas Kebudayaan, 2019.

sejarah31.com
sejarah31.com sejarah31.com adalah web yang dibuat untuk berbagi informasi seputar dunia pendidikan dan sejarah.

Posting Komentar untuk "Refleksi: Peran Santri dalam Sejarah Pendidikan Islam dan Perjuangan Bangsa Indonesia"