Sejarah Premanisme di Indonesia: Dari Penjajah hingga Demokrasi
Premanisme menjadi fenomena sosial dalam sejarah Indonesia, seiring perubahan zaman makna premaisme juga mengalami perbahan, Dari alat kekuasaan di era kolonial hingga menjadi bagian kompleks dari dinamika sosial-politik pasca-kemerdekaan, perjalanan premanisme mencerminkan pasang surutnya kekuasaan dan pengaruh di Nusantara. Dari beberapa sumber kata "preman" sendiri berasal dari serapan bahasa Belanda, vrijman, yang berarti "orang bebas" atau "tidak terikat kerja paksa". Awalnya merujuk pada orang-orang yang tidak bekerja di perkebunan atau proyek pemerintah Hindia Belanda, namun seiring waktu, maknanya bergeser menjadi konotasi negatif yang mengacu pada kelompok yang hidup di luar tatanan hukum dan seringkali terlibat dalam tindakan kekerasan.
Perkembangan premanisme juga terpengaruhi oleh kondisi sosial Indonesia yang juga tidak menentu, terutama ketimpangan antara kondisi Kota dan Desa daya Tarik kota menguat sehingga memikat banyak masyarakat desa memutuskan merantau ke Kota, Namun, arus urbanisasi masif ini tidak selalu diiringi dengan ketersediaan lapangan kerja formal yang memadai. Akibatnya, banyak pendatang urban justru menghadapi kenyataan pengangguran di kota besar. ketiadaan Lapangan pekerjaan akhirnya menimbulkan problematika social selanjutnya mendorong orang-orang yang terlanjur datang ke kota mencari perlindungan tanpa pola hukum yang jelas. Pola seperti ini bukan baru-baru saja terjadi dalam sejarah Indonesia pada masa kerajaan kita mengenal kisah mengenai Ken Arok dalam kitab pararathon mengenai bagaimana asal usul Ken Arok sampai menjadi pemimpin singasari. Pengaruh premanisme menguat seiring pengaruh bangsa Asing yang datang ke Indonesia, yang kemudian kita kenal dengan era penjajahan colonial.
Akar Awal: Era Kolonial dan Pendudukan Jepang
Benih premanisme di Indonesia dapat dilacak hingga masa kolonial Belanda. Pada masa itu, para penjajah kerap menggunakan centeng atau jagoan lokal untuk menjaga keamanan perkebunan, menekan perlawanan pribumi, atau bahkan sebagai penagih pajak tidak resmi. Mereka diberikan keistimewaan dan kekebalan tertentu oleh penguasa kolonial, membentuk cikal bakal kelompok-kelompok yang beroperasi di luar hukum formal namun dengan dukungan tersembunyi dari penguasa.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, mereka juga memanfaatkan premanisme untuk kepentingan mereka. Kelompok-kelompok pemuda yang terlatih militer dan seringkali tanpa pekerjaan, dijadikan alat untuk menekan pergerakan nasionalis dan menjaga ketertiban yang sesuai dengan kehendak Jepang. Namun, setelah proklamasi kemerdekaan, banyak dari kelompok ini yang kemudian berbalik arah dan bergabung dalam perjuangan revolusi.
Premanisme di Masa Kemerdekaan: Revolusi, Orde Lama, dan Orde Baru
Pasca-kemerdekaan, peranan premanisme mengalami pergeseran. Pada masa revolusi fisik, beberapa kelompok preman bahkan ikut berjuang melawan Belanda, meskipun motivasi mereka seringkali campur aduk antara patriotisme dan kesempatan untuk mendapatkan kekuasaan atau keuntungan.
Di era Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, premanisme cenderung lebih terfragmentasi, meskipun beberapa kelompok tetap ada dan terkadang dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Namun, puncak integrasi premanisme dalam struktur kekuasaan terjadi pada masa Orde Barudi bawah Presiden Soeharto.
Pemerintahan Orde Baru dikenal dengan pendekatannya yang represif dan sentralistik. Premanisme, dalam bentuk organisasi massa (ormas) atau kelompok-kelompok yang loyal kepada penguasa, menjadi alat yang efektif untuk menjaga stabilitas, menekan oposisi, dan mengendalikan masyarakat. Mereka seringkali terlibat dalam berbagai aktivitas mulai dari pengamanan proyek pemerintah, penagihan utang, hingga intimidasi politik. Beberapa tokoh preman bahkan diberikan posisi atau pengaruh dalam birokrasi atau bisnis. Pembunuhan misterius (Petrus) pada awal 1980-an yang menargetkan preman-preman yang dianggap meresahkan masyarakat, juga merupakan bukti bagaimana negara berinteraksi dan mencoba mengendalikan fenomena premanisme.
Era Reformasi dan Premanisme Kontemporer
Jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998 dan bergulirnya era Reformasi membawa perubahan signifikan dalam lanskap premanisme. Dengan semakin terbukanya ruang demokrasi dan melemahnya kontrol negara yang sentralistik, premanisme tidak lagi dimanfaatkan secara terang-terangan oleh negara seperti di era Orde Baru.
Namun, premanisme tidak serta-merta hilang. Mereka bermetamorfosis dan beradaptasi dengan kondisi baru. Banyak kelompok preman yang kemudian berafiliasi dengan partai politik atau tokoh politik tertentu, menjadi "pasukan" bayangan yang siap digerakkan untuk kepentingan politik, seperti kampanye, pengamanan acara, atau bahkan pengerahan massa. Selain itu, premanisme juga tetap eksis dalam bisnis ilegal seperti perjudian, narkoba, atau perlindungan ilegal, serta dalam penguasaan wilayah atau sektor ekonomi tertentu (misalnya, terminal, pasar, atau lahan parkir).
Premanisme kontemporer juga seringkali berbalut nama ormas kepemudaan atau organisasi masyarakat lainnya, memberikan legitimasi semu bagi kegiatan mereka. Mereka memanfaatkan celah hukum, keterbatasan penegakan hukum, dan kondisi sosial ekonomi yang rentan untuk terus berkembang.
Sejarah premanisme di Indonesia adalah cerminan kompleks dari interaksi antara kekuasaan, masyarakat, dan ekonomi. Dari alat penjajah, agen revolusi, hingga instrumen politik dan bisnis ilegal, premanisme terus beradaptasi dengan perubahan zaman. Memahami sejarahnya penting untuk melihat bagaimana fenomena ini telah membentuk dan terus mempengaruhi dinamika sosial dan politik di Indonesia.
Posting Komentar untuk " Sejarah Premanisme di Indonesia: Dari Penjajah hingga Demokrasi"